Minggu, 22 Juli 2012

Fase - fase para perambah jalan Tuhan

Saudaraku yang terhormat, sesungguhnya kedudukan yang paling mulia adalah penghambaan diri kepada Allah, sebagai hamba yang mengabdikan diri kepada-Nya. Pengabdian ini adalah kemuliaan hakiki yang akan kamu raih, baik di dunia maupun di akherat kelak. Dengan alasan ini pula, Allah swt. menyebut nama Muhammad saw. pada tempat yang paling terhormat, dengan panggilan, julukan dan sifat-sifat yang sempurna. Allah swt. menyebut Muhammad dalam Al-Qur'an sebagai seorang "hamba", sebagaimana kisah Isra' dan Mi'raj, Allah swt. berfirman, 

"Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha." (Al-Isra' [17]: 1), 

"Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya, agar ia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." (Al-Furqan [25]: 1), 

"dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdirih menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya." (Al-Jinn [72]: 19)

Maka sesungguhnya kemuliaan kamu di dunia adalah penghambaanmu kepada Allah swt..

Sesuatu yang menambah kemuliaan dan keagunganku, serasa telapak kakiku menginjak bintang tsurayya. Keikutsertaanku dalam panggilan-Mu 'wahai hambaku', serta berkenannya Engkau menjadikan Ahmad sebagai Nabi bagiku.

Maksudnya, keikutsertaanmu dalam golongan hamba-hamba Allah swt. yang dipanggil-Nya dengan menggunakan ya 'ibadi (wahai hambaku). 

Janganlah Engkau memanggilku selain dengan 'Wahai hambaku' karena panggilan itu adalah namaku yang paling mulia.

Kekuatan terhebat dan kemuliaan yang paling sempurna adalah penghambaan diri kepada Allah swt.. Dia-lah    tempat kita bersandar dan mengadu. Dia-lah Tuhan yang diharapkan, kekuatan yang tidak akan terkalahkan dan tidak akan hancur.

"Berpegang teguhlah pada tali Allah sebisa mungkin, karena Dia-lah sandaran ketika sandaran-sandaran lain mengkhianatimu"

Ibnu Katsir menyebutkan salah satu riwayat dari seorang ahli ibadah yang sangat alim, zuhud dan ma'rifat bernama Thawus bin Kisan. Beliau bercerita, "Suatu saat aku masuk Masjidil Haram dan shalat dua rakaat di samping maqam Ibrahim, tiba-tiba Hajjaj bun Yusuf Ats-Tsaqafi bersama pengawalnya datang sambil menenteng pedang. Sesaat kemudian, aku mendengar suara berisik di belakangku, aku menengok kebelakang. Ketika itu aku melihat Hajjaj dan pengawalnya sedang melaksanakan shalat di samping maqam Ibrahim. Ketika Hajjaj baru menyelesaikan dua rakaat, tiba-tiba datang seorang Badui dari Yaman dan berjalan di depan Hajjaj sambil mengibaskan bajunya dengan kurang sopan dan menjatuhkannya di samping Hajjaj.

Kemudian Hajjaj memungut baju Badui tersebut dan bertanya, "Siapa kamu?"
"Aku seorang muslim," jawab lelaki Badui tersebut.
"Dari mana asal kamu?"
"Aku penduduk Yaman."
"Mengapa kamu meninggalkan saudaraku?" Hajjaj bertanya lagi.
"Siapa nama saudaramu?" Lelaki Badui itu balik bertanya.
"Saudaraku bernama, Muhammad bin Yusuf, ia adalah seorang yang zalim sebagaimana Hajjaj dan ia mengambil alih kepemimpinan Yaman dari tangan Hajjaj,? Jawab Hajjaj.
"Aku meninggalkannya dalam keadaan sehat, tubuhnya gemuk dan perutnya besar," jelasnya.
"Aku tidak bertanya kepadamu tentang kesehatannya, tapi aku bertanya tentang keadilan dia," sahut Hajjaj
"Dia adalah seorang pemimpin yang sadis dan zalim," jawab lelaki Badui itu
"Apakah kamu tidak mengetahui kalau dia saudaraku?"
"Wahai Hajjaj, apakah kamu menyangka bahwa dia menjadi mulia karena dirimu dibanding dengan kemuliaanku di sisi Allah swt.?"

Pada waktu itu, tak satu rambut pun di kepalaku yang tidak berdiri ketakutan, kata Thawus mengakhiri cerita.

Itulah hakikat penghambaan diri kepada Allah swt.. Itulah kekuatan orang yang beriman ketika tidak ada penolong dan tempat bersandar selain kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar